Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900-2000) menghimpun
48 sketsa, puisi, dan prosa karya para penulis berdarah atau peranakan Betawi
tentang kampong halaman mereka. Mulai dari penulis-penulis masa lampau seperti Oom
Piet, Tio Ie Soei, Kwee Kek Beng, M. Balfas, S.M. Ardan, Firman Muntaco, dan N.
Susy Aminah Aziz hingga penulis-penulis masa kini seperti Zeffry Alkatiri, Aba
Mardjani, dan Chairil Gibran Ramadhan.
Kembang Goyang, menurut Laora Arkeman dalam
pengantarnya, berhasil menunjukkan keberadaannya sebagai antologi yang
merepresentasikan kekayaan alam Betawi dan mungkin buku pertama yang
mengabadikan karya-karya penulis dari etnis Betawi selama 100 tahun terakhir.
Karya-karya dalam buku
antologi ini, menurut Wahyu Wibowo, dosen dan pendiri Pusat Studi Betawi
Universitas Nasional, “mencuatkan gambaran historis perihal gejala
multikulturalisme masyarakat Betawi. Suatu hal yang wajar terjadi, tetapi
justru di situlah kemampuan keberadaan kita dituntut dalam memahami nilai-nilai
luhur Betawi sebagai penopang jati diri bangsa. Kembang Goyang adalah buku yang
kudu dibaca oleh kalangan Betawi dan non-Betawi, karena merupakan buku
nasional. Bukan buku lokal.”
Mega Trianasari Soendoro
menilai, sekurangnya, ada tiga aspek yang bisa ditelaah dari Kembang Goyang
berkaitan dengan Tanah Betawi dari masa ke masa. Mulai dari kondisi geografis,
perkembangan bahasa Melayu, hingga kondisi sosial masyarakatnya.
Keadaan geografis tanah
Betawi dapat ditengok melalui salah satu karya M. Balfas, “Si Gomar”. Melalui
cerita tersebut, kita dapat mengetahui keadaan wilayah Cawang di Jakarta Timur
pada 1950-an yang masih asri atau bahkan masih seperti desa kecil. Bandingkan
dengan keadaan Cawang sekarang yang dipenuhi gedung tinggi sebagai kota besar
yang padat.
Beberapa karya dalam Kembang Goyang juga menggambarkan
perkembangan bahasa Melayu Pasar hingga menemukan bentuknya sebagai Bahasa
Indonesia. Perkembangan ragam bahasa Betawi dalam perubahan sistem ejaan dan
ragam subdialek juga diperlihatkan buku ini.
Buku ini juga laksana social time capsule karena pembaca dapat
melakukan ziarah realitas sosial ke tiga zaman: zaman kolonial Belanda, zaman
pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan. Sketsa berjudul “Bandot”—judul tersebut
diberikan penyusun karena naskah aslinya tidak berjudul—karya Oom Piet
mengisahkan realitas penyuapan dan pemerasan dalam praktek peradilan zaman
Kolonial yang ditulis secara gamblang.
Kondisi zaman Jepang
digambarkan melalui sketsa-sketsa karya Kwee Kek Beng. Misalnya, “Boekoe
Kaboeroekan Djepang” menceritakan keadaan ketika Jepang sudah berhasil
menguasai Pasifik. “Sinjo Mata Sipit” —judul tersebut diberikan penyusun karena
naskah aslinya tidak berjudul—menggambarkan praktek pergundikan di kamp
interniran milik Jepang. Keadaan sosial Jakarta yang sedang bergeliat menemukan
bentuk idealnya pada zaman kemerdekaan pascarevolusi fisik dipotret melalui
cerpen “Anak Revolusi” karya Balfas.
Judul: Kembang Goyang: Orang Betawi Menulis Kampungnya (1900-2000): Skesta,
Puisi & Prosa
Penulis: Oom Piet, Tio Ie
Soei, Kwee Kek Beng, M. Balfas, S.M. Ardan, Firman Muntaco, N. Susy Aminah
Aziz, Zeffry Alkatiri, Aba Mardjani, Chairil Gibran Ramadhan
Penyusun: Chairil Gibran
Ramadhan
Pengantar: Ibnu Wahyudi
Penutup: Yahya Andi Saputra
Penyunting: Laora Arkeman
Bahasa: Indonesia
Kulit Muka: Hard Cover
Tebal: xxiv + 320 Halaman
Dimensi: 15,5 x 24,5 Cm
Penerbit: Padasan, Jakarta
Tahun: Cetakan Pertama, 2011
Kondisi: Bagus (Masih segel,
tapi ada segel yang sobek, sehingga muncul bercak-bercak kecokelatan di sisi
luar buku.)
Harga: Rp150.000
Stok: 8 (7 TERJUAL)
Semua buku yang kami jual
merupakan buku original, termasuk buku ini.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar secara jelas dan tak melanggar aturan hukum. Jangan lupa mencantumkan e-mail yang benar supaya kami dapat membalas.