Repetisi Hati menceritakan kisah cinta antara mahasiswa
dan siswi SMA. Keduanya sama-sama gemar membaca buku dan mengunjungi toko buku.
Si Cewek suka buku filsafat. Tapi, malah si Cowok yang lagaknya kayak filsuf.
Dari sanalah konflik bermula.
Akhirnya, kutemui juga dia di teras. Dia duduk di kursi besi
menghadap ke jalan. Merasakan kehadiranku, dia menoleh. Aku duduk di kursi besi
dekat pintu. Meja kecil dari instalasi besi dengan penutup dari kaca memisahkan
kami.
Matanya menatapku. Aku malu untuk membalas menatap matanya. Mukaku
pun kutekuk.
“Kok, malu-malu, sih? Mana kata-kata ‘aku suka kamu’ yang sering
kamu ulang-ulang itu?” Nada bicaranya terasa mengejek.
Aku diam saja. Hatiku merasa terpojok.
“Apa kamu sekarang udah nggak suka lagi sama saya?”
Dengan sedikit keberanian, aku menjawab, “E… masih.”
“Kenapa nggak ngomong lagi seperti dulu?”
“Maaf, apa maksudmu sebenarnya datang ke sini?”
“Ditanya, kok, malah balik tanya. Jawab dulu pertanyaan saya.”
“Aku tidak mau menjawabnya.”
“Oke, saya nggak akan maksa kamu buat jawab. Tapi, saya akan tetap
jawab pertanyaanmu,” katanya seraya menggeser kursi yang didudukinya hingga
menghadap ke arahku.
“Pertama, saya mau minta maaf karena selama ini saya susah
dihubungi dan susah juga ditemui. Selain karena pengen menghindarimu,
belakangan ini, saya emang sibuk dengan tugas sekolah dan persiapan ngadepin
ujian nasional.
Tapi, kalau sempat, telepon darimu kadang-kadang masih saya
angkat, pesan-pesan darimu kadang-kadang masih saya balas. Nggak seperti
telepon dan pesan-pesan dari saya ke kamu, nggak sekali pun kamu angkat dan
balas. Malah, nggak ada satu pun pesan dari saya yang kamu buka dan baca.
Padahal, apa yang saya katakan sekarang dan sebentar lagi ini sudah saya tulis di
pesan-pesan yang nggak pernah kamu buka dan baca sampai sekarang itu.”
Baru kali ini, dia omong sepanjang itu. Selama ini, akulah yang
sering omong sepanjang itu. Aku seperti menghadapi gadis yang berbeda dari
gadis yang sebelum ini sering kutemui. Keberbedaan tersebut memorak-morandakan
semua pikiran dan perilakuku selama ini.
“Kedua, saya pengen bilang, kamu ini aneh. Saya sering baca buku
filsafat dan sangat jarang bisa ngerti. Sebab, banyak buku filsafat ditulis
dengan cara berbelit-belit. Kamu cuma sesekali baca buku filsafat, tapi merasa
paling ngerti. Udah begitu, sok kayak filsuf lagi. Tapi, filsuf yang ngawur.
Kamu seperti Vladimir, tokoh dalam drama
Menunggu Godot yang pernah kamu ceritain. Selama ini, kamu banyak
ngomong, tapi sebenarnya kamu nggak bener-bener ngerti apa yang kamu omongin.”
Kalimat-kalimat itu benar-benar menohok. Hatiku makin terpojok.
Darahku mulai mendidih.
“Maaf, kamu nggak perlu marah. Waktu kamu minta saya supaya nggak
maksa kamu buat datang tiap malam Minggu, saya juga nggak marah, walau kesal.
Waktu saya lihat kamu bermesraan dengan cewek lain, saya juga nggak marah,
walau cemburu. Selama kita nggak berhubungan dan mungkin kamu ngerasain semua
yang saya rasain selama ini, apa kamu juga nggak marah? Apa kamu juga kesal dan
cemburu?”
Semua ucapanku dulu menjadi bumerang. Seperti senjata makan tuan.
Aku dibikin tidak berkutik.
“Ketiga, saya juga pengen bilang, cinta itu sederhana. Tapi, di
tangan kamu, cinta jadi rumit. Dan, makin rumit waktu kamu nggak konsisten
dengan omonganmu sendiri dan nggak adil memperlakukan orang lain, termasuk
saya. Kamu minta dipahami orang lain, tapi kamu nggak mau mahami orang lain.
Saya bilang cinta, tapi kamu tetap bilang suka. Dengan semua yang kamu lakuin
sama saya, kamu ini sebenernya cuma suka doang sama saya atau benar-benar
cinta?”
Keberanianku untuk berbicara kembali tumbuh.
Tetapi, baru satu kata meluncur dari bibirku, dia sudah memotong
dengan ketus, “Jangan cari alasan dengan ngejelasin apa itu suka, apa itu
cinta. Basi tau!”
Judul: Repetisi Hati
Penulis: Kiran Amuti
Bahasa: Indonesia
Tebal: 35 Halaman
Penerbit: Buku Seni
Tahun: Cetakan Pertama, 2019
Genre: Fiksi Remaja
Format: E-Book
Harga: Rp10.000
Silakan membeli e-book ini
melalui Google Play.
No comments:
Post a Comment
Silakan berkomentar secara jelas dan tak melanggar aturan hukum. Jangan lupa mencantumkan e-mail yang benar supaya kami dapat membalas.